blog ini pindah ke blog baru di http://www.onenewnewss.blogspot.com/


This blog is moving to a new blog on http://www.onenewnewss.blogspot.com/

Minggu, 13 Februari 2011

Dari Cuaca Ekstrem ke Meja Makan


Jika Anda ingin menikmati makanan laut, bersiaplah untuk merogoh kocek lebih dalam. Cuaca ekstrem yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir membawa dampak bagi penikmat makanan laut. Harga-harga ikan seperti kakap, tuna, bawal, tongkol, lalu kepiting, udang, dan cumi di pasar-pasar tradisional naik antara 30–70 persen.
Inilah salah satu hasil dari survey yang dilakukan oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) pada para nelayan. Cuaca ekstrem, dalam hal ini ombak tinggi, bisa mengurangi pemasukan nelayan antara 50-70 persen.
Nelayan-nelayan yang mereka survey hidup di wilayah Sibolga, Sumatera Utara; Tarakan, Kalimantan Timur; Bau-Bau, Sulawesi Tenggara; dan Teluk Jakarta. Dalam lima tahun terakhir, frekuensi ombak tinggi yang semakin sering mengurangi jumlah hari melaut mereka. Dari rata-rata 240-300 hari per tahun, kini mereka hanya melaut sekitar 160-180 hari per tahun.
Kenapa semua ini berpengaruh pada harga ikan di pasar?
Karena sampai 75% dari konsumsi ikan nasional, ini berarti makanan laut yang kerap Anda temui di pasar tradisional atau swalayan, berasal dari para nelayan kecil yang berjumlah 2,7 juta orang.
Tidak seperti beras atau gandum yang mengandalkan produk impor, sangat kecil jumlah konsumsi ikan dari keluarga-keluarga Indonesia yang datang dari luar negeri. Semakin sedikit jumlah hari melaut berarti semakin sedikit pula ikan yang ditangkap oleh para nelayan. Akhirnya, berkuranglah pasokan ikan yang sampai di pasar-pasar tradisional dan pasar swalayan, sehingga harga makanan laut bertambah mahal.
Masalah utamanya kini adalah cuaca ekstrem, dalam hal ini ombak besar yang membuat nelayan kecil takut melaut. Cuaca ekstrem yang terjadi semakin sering adalah salah satu ukuran sedang terjadinya perubahan iklim. Bukan tidak mungkin, tanpa intervensi atau perlindungan pemerintah terhadap para nelayan kecil dalam menghadapi ekstremitas cuaca, harga ikan dan makanan laut lain akan semakin meroket.
Kepala Pusat Sosial Ekonomi Kementerian Kelautan dan Perikanan Agus Heri Purnomo dalam sebuah diskusi lingkungan di Jakarta, Jumat (11/2), juga memaparkan hasil penelitian institusinya terhadap para nelayan kecil.
Jika bagi kebanyakan orang Indonesia ‘perubahan iklim’ masih menjadi sebuah konsep yang abstrak, bagi para nelayan kecil, kondisi tersebut sudah berwujud menjadi sebuah tantangan tersendiri.
Bagi para nelayan di Cilamaya, Karawang, kombinasi angin kencang dan gelombang tinggi yang semakin sering mereka anggap sebagai hambatan terbesar saat hendak pergi melaut. Sementara bagi para pembudidaya ikan, curah hujan berkepanjangan (yang semakin sering) dan banjir mulai menyulitkan. Di kawasan seperti Cijulang, Ciamis atau Batu Karas, Pangandaran, gelombang 2-3 meter membuat mereka ciut melaut.
Lebih dari 60% nelayan-nelayan di Cijulang sudah kesulitan menangkap ikan, dan produksi ikan di kawasan itu telah turun lebih dari 50% sejak 2009. Sebagian besar penurunan produktivitas ini mereka rasakan akibat alam atau iklim yang berubah.
Bukan hanya di Cilamaya atau Cijulang nelayan yang disurvei oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Nelayan di Boyolali, Karawang, Gresik, Boyolali, Cilacap, Pekalongan, Gowa, serta Pulang Pisau dan Kotawaringin Barat di Kalimantan Tengah pun ikut merasakan dampak perubahan iklim.
Setidaknya para nelayan itu merasakan suhu laut yang semakin hangat (kemudian berdampak pada kerusakan terumbu karang, yang berarti semakin sedikitnya makanan ikan), angin kencang dan gelombang tinggi, dan akhirnya pada menurunnya produksi ikan serta pendapatan mereka. Hasilnya, semakin sedikit ikan yang beredar di pasar atau pasar swalayan. Dan jika ada, Anda pun harus bersiap membeli dengan harga yang lebih mahal.
Pada akhirnya, perubahan iklim atau bumi yang semakin menghangat bukan sebuah konsep abstrak atau sekadar isu lingkungan saja. Dampaknya sampai ke meja makan dan perut kita.
Isyana Artharini

0 komentar:

:10 :11 :12 :13 :14 :15 :16 :17
:18 :19 :20 :21 :22 :23 :24 :25
:26 :27 :28 :29 :30 :31 :32 :33
:34 :35 :36 :37 :38 :39

Posting Komentar